Wacana penerapan pelatihan disiplin ala militer di Sekolah Menengah Atas (SMA) telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat dan pegiat pendidikan. Ide ini, yang sering dikaitkan dengan tujuan memperkuat karakter dan rasa cinta tanah air, menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas dan relevansinya dalam kurikulum pendidikan formal. Polemik seputar kurikulum bela negara ini menyoroti perlunya kajian mendalam terhadap dampak jangka panjangnya terhadap siswa dan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Salah satu argumen utama pendukung inisiatif ini adalah keyakinan bahwa pelatihan disiplin akan membentuk generasi muda yang lebih bertanggung jawab, patuh, dan memiliki etos kerja tinggi. Mereka beranggapan, dengan sentuhan militer, siswa akan terbiasa dengan jadwal ketat, hierarki, dan kerja sama tim. Misalnya, seperti yang pernah diusulkan oleh seorang tokoh pendidikan di Jawa Barat dalam sebuah rapat dengar pendapat pada Selasa, 23 April 2024, di Gedung DPRD Provinsi, gagasan ini diharapkan dapat mengatasi masalah kenakalan remaja dan kurangnya semangat nasionalisme yang kerap disoroti.
Namun, gagasan ini juga menuai banyak kritik. Sejumlah pakar pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa pelatihan disiplin yang terlalu kaku dan berbau militeristik justru berpotensi mematikan kreativitas dan kebebasan berekspresi siswa. Mereka khawatir, tekanan untuk mengikuti aturan yang seragam tanpa ruang untuk eksplorasi diri dapat menghambat perkembangan kognitif dan emosional yang sehat. Profesor Dr. Budi Santoso, seorang psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia, dalam simposium nasional pada Sabtu, 18 Mei 2024, menyatakan bahwa pembentukan karakter harus dilakukan melalui pendekatan yang holistik, tidak melulu dengan metode ala militer.
Alternatif yang lebih disarankan adalah penguatan pendidikan karakter melalui kurikulum yang terintegrasi, yang menekankan pada nilai-nilai Pancasila, gotong royong, toleransi, dan kepemimpinan yang partisipatif. Mata pelajaran seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dapat diperkaya dengan studi kasus nyata, proyek kolaborasi, dan kegiatan ekstrakurikuler yang menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial dan kemandirian. Misalnya, program Pramuka atau Palang Merah Remaja (PMR) yang telah ada, dapat diperkuat dengan modul-modul yang lebih mendalam mengenai kepemimpinan dan bela negara tanpa menghilangkan esensi kemandirian siswa.
Pada akhirnya, keputusan mengenai implementasi pelatihan disiplin ala militer di sekolah menengah membutuhkan pertimbangan yang matang dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Studi komparatif dengan negara lain yang telah menerapkan atau menolak sistem serupa juga dapat menjadi referensi. Tujuannya adalah menciptakan generasi muda yang tidak hanya disiplin, tetapi juga kritis, inovatif, dan mampu beradaptasi dengan tantangan zaman.